Saya merupakan perempuan suku Jawa asli. Sejarahnya karena memang ayah dan ibu saya bersuku Jawa. Saya pun tumbuh dan berkembang bersama budaya Jawa yang kental dengan stereotip-stereotip tentang perempuan Jawa. Ketidaktahuan saya kemudian membuat anggapan-anggapan tentang perempuan Jawa yang banyak menimbulkan bias itu biasa saja.
Contohnya, ketika nenek saya menyuruh cucu perempuannya untuk mengerjakan kegiatan domestik, seperti menyapu halaman, mencuci piring, dan memasak. Karena masih kecil saya dan cucu perempuan lainnya ya menjalankan dengan senang hati tanpa ada pertanyaan kritis kenapa cucu laki-lakinya tidak disuruh untuk melakukan kegiatan yang sama dengan cucu perempuan.
Pemikiran ganjal tentang pembagian pekerjaan ini timbul ketika saya sudah kuliah. Beberapa pertanyaan terus mengganjal pikiran saya. Pada akhirnya saya sadar dan mengerti betapa susahnya jadi perempuan Jawa yang diiikuti oleh aturan-aturan dari leluhur yang menghasilkan banyak bias karena masyarakat Jawa masih percaya pada mitos Macak, Manak, Masak (3M).
Saya mencoba menguraikan beberapa poin berdasarkan pengalaman pribadi sebagai perempuan Jawa dan menghubungkannya pada mitos-mitos yang berkembang di masyarakat khususnya suku Jawa.
- Anak Perawan Ga Boleh Bangun Siang
Jam bangun tidur adalah salah satu aturan yang mengikat pada perempuan. Kita tahu kalau pola tidur anak rantau ga teratur bahkan berantakan. Mengubah pola tidur itu ternyata ga semudah membalikkan kedua telapak tangan. Alhasil, kalau saya sedang berada di rumah saya sering bangun siang. Akibatnya, nenek selalu bilang “Anak perawan ga boleh bangun siang.”
Hal itu ga dikatakan nenek ke cucu laki-lakinya yang juga bangun siang. Mereka dibebaskan dari omelan dan hukuman kalau bangun siang. Omelan-omelan itu akhirnya menembus telinga bahkan saya dicap sebagai anak durhaka karena tidak mematuhi titah nenek. Dari situ sebagai perempuan saya merasa tidak seberuntung laki-laki dalam urusan jam bangun tidur. Lebih dari itu, saya juga mulai merasakan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
- Jadi Perempuan Jawa Harus Bisa Masak
Ketika sudah beranjak dari tempat tidur, omelan nenek masih akan berlanjut sampai dapur. Bukan saja perkara sabda perempuan harus bisa masak, tetapi perkara itu bergulir sampai perbandingan antara saya dan adik perempuan saya. Di mana adik perempuan saya lebih mahir dalam memasak. Ga bisa dipungkiri, saya merasa minder dan merasa tidak berguna sebagai perempuan.
“Perempuan harus bisa masak, melayani suami.” Itulah perkataan nenek yang selalu diulang-ulang ketika memasak nasi goreng untuk suaminya. Sedangkan kakek saya duduk diam di meja makan dan menyetujui pernyataan dari nenek bahwa perempuan harus bisa melayani suami. Kuping saya sudah kebal cuma bisa ngedumel sambil mengambil nasi di wadahnya.
- Jadi Perempuan Jawa Ga Boleh Banyak Omong
Kuliah membuat saya berpengetahuan lebih luas dibanding cucu nenek yang lain, paling ga tentang beberapa teori. Hal itu membuat perbedaan pendapat antara saya dan sepupu yang lain terkait masalah keluarga. Saya menjelaskan secara menggebu-nggebu untuk mempertahankan pendapat saya. Mereka malah menimpali dengan kalimat, “Perempuan ga usah banyak omong apalagi ngomong kasar seperti itu, ga baik.”
Melihat jauh ke kondisi masyarakat umum, laki-laki dianggap biasa saja ketika banyak omong bahkan dituntut untuk mengeluarkan pendapatnya secara tegas. Kenapa perempuan ga boleh bersuara? Dari situ kejengkelan saya terus bertumbuh.
- Jadi Perempuan Jawa Ga Boleh Mengenyam Pendidikan Tinggi
“Kamu ngapain sih kuliah, ujung-ujungnya juga di dapur.” Itulah kalimat yang akan diucapkan nenek ketika saya ga mau memasak karena ga terlalu jago. “Kuliah kan buat menambah pengetahuan, Nek, biar pintar juga,” jawabku.
Jika memang kehidupan perempuan berakhir di rumah, toh ga ada salahnya untuk menjadi perempuan yang berpendidikan tinggi. Hal itu karena sebagai ibu perempuan merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Jadi, supaya bisa melahirkan anak-anak yang berkualitas, maka dibutuhkan ibu yang berkualitas juga.
Begitu banyak tuntutan diberikan kepada kaum perempuan yang pada akhirnya menimbulkan bias dan ketidakadilan. Saya cuma bisa menghela napas karena takut dianggap durhaka karena berbeda pandangan dengan leluhur. Banyak pendapat-pendapat perempuan yang ga saya utarakan. Akhirnya, suara-suara itu perlahan hilang dan tenggelam oleh arus struktur sosial masyarakat yang sudah melekat.